Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Rabu, 06 Juni 2012

TEKNIK HIBRIDOMA



A.                          PERKEMBANGAN TEKNIK HIBRIDOMA

Sejak diperkenalkan, teknik hibridoma telah banyak mengalami perkembangan untuk mendapatkan klon secara efisien dan hibridoma yang hidup secara maksima. Sejalan dengan tujuan maka pengembangan timbul pada cara-cara:
1) Imunisasi
Hibridoma merupakan hasil fusi 2 sel yaitu sel mieioma dan sel B penghasil antibodi. Karena itu supaya memperbanyak sel B spesifik terhadap antigen yang diinginkan penting supaya populasi sel B pesifik jumlahnya lebih banyak sehingga hasil fusi mencapai maksimal. Banyaknya sel B spesifik dipengaruhi antigen baik caranya stimuiasi maupun sifat dan antigen sendiri, Sehingga untuk memperbanyak sel B spesifik, dilakukan berbagai cara imunisasi, yaitu:
a.       Konvensional
Cara ini sebenarnya sama dengan cara imunisasi untuk membuat antibodi poiikional. Antigen berupa protein atau polisakanida dalam volume yang sama diemulsikan dengan complete Freuncfs adjuvant, bila antigen seluier dibuat tanpa ajuvan. Antigen disuntikkan subkutan pada beberapa tempat atau intraperitoneai,
setelah 2–3 minggu disusul suntikan antigen tanpa ajuvan secara intravena sekali atau beberapa kaii. Mencit dengan tanggap kebal terbaik dipilih, 1–2 hari setelah suntikan terakhir mencit dibunuh dan diambil sel limpanya(11,12). Cara ini dianggap cukup baik dan secara umum banyak dipakai, walaupun dipengaruhi sifat antigen berupa imunogen kuat atau lemah serta tanggap kebal binatang yang berbeda-beda. Bila informasi antigen yang iengkap tidak bisa didapatkan cara imunisasi ini terbukti memberi hasil cukup baik.
b.      Imunisasi sekali suntik intralimpa (Single-shot intrasplenic immunization)

Pada imunisasi konvensional, antigen dipengaruhi bermacam-macam faktor. Bila disuntikkan ke dalam darah sebagian besar akan dibuang secara aiami, sedangkan melalui kulit akan tersaring kelenjar limfe regional, makrofag dan sel retikuler. Hanya sebagian kecii antigen yang terlibat daiam proses tanggap kebal. Pada hibridoma yang diperlukan adalah sel limpa, karena itu untuk mencegah eiimin antigen oleh bagian lain dari tubuh dilakukan suntikan imunisasi langsung pada limpa dan ternyata hasilnya lebih baik dan cara konvensional(14). Selain memberikan hasil klon spesifik yang lebih banyak, imunisasi intraiimpa ini memberi keuntungan yang lain : (1) Pemakaian antigen yang sangat hemat, misalnya untuk imunisasi dengan 1gM manusia hanya diperiukan 20 ug, sedangkan untuk antigen berupa sel hanya diperlukan 200.000 sel, sehingga dapat dibuat hibridoma dan antigen yang terbatas jumiahnya. Karena hampir semua binatang percobaan membeni tanggap kebal yang baik, tidak diperiukan binatang dalam jumlah yang besar(14). (2) Fusi dapat dilakukan dalam waktu 3 hari seteiah imunisasi.
c.       Imunisasi in vitro
Tidak ditemukannya antibodi monokional spesifik sering karena kegagalan stimulasi limfosit B pada imunisasi in vivo. Ini mungkin disebabkan toleransi atau adanya antigen hierarchy response (reaksi tanggap kebai hanya terhadap beberapa komponen antigen). Sering terjadi seteiah imunisasi dengan antigen yang Iemah, wataupun titer antibodinya tinggi ternyata gagal mendapatkan hibridoma spesifik karena rendahnya jumtah sel B spesifik dalam limpa, maka untuk mengatasinya dilakukan imunisasi in vitro(15). Pada prinsipnya sel timpa belum imun ditambah antigen dan TCM (thymocyte culture-conditioned medium) yaitu medium biakan sel thymus setelah inkubasi 48 jam. Antigen dapat benupa antigen tertarut sebanyak 30–1000 ug atau sel yang difiksasi aikohol atau yang diradiasi 4500 rad dengan Cesium radioaktif. Setelah diinkubasikan 37°C selama 5 hari akan banyak dijumpai sel blast yang besar dan pada keadaan ini sel siap untuk dilakukan fusi(15).
Sebagai contoh kebenhasiian imunisasi in vitro : melalui imunisasi in vitro dengan 107 sel acute myeloid leukemia (AML) yang difiksasi alkohol, 31 dan 96 sumur biakan menghasilkan hibridoma spesifik dan antibodi dan 6 dari klon ternyata sangat spesifik karena tidak beneaksi dengan sel darah penifer maupun sel sumsum tuiang. Hasil ini berbeda bila dibandingkan melalui imunisasi in vivo, antibodi yang dihasiikan sebagian besar bereaksi dengan major histocompatibility antigen atau major rnyeloid differentiation antigen yang merupakan bagian terbanyak dari permukaan sel(15).
Perkembangan selanjutnya merupakan penyederhanaan kondisi imunisasi in vitro yaitu menggunakan medium yang biasa untuk biakan jaringan yaltu RPMI (Roswell Park Memorial Institute) atau DMEM (Dulbeco ‘s Mod Eagle’s Medium) dan ajuvan peptida yang mudah didapat, N-acetytmuramyl-L-alanyi-D-isoglutamine. Cara ini terbukti telah meningkatkan jumlah hibridoma pembuat antibodi sertajumlah hibridoma yang dapat bertahan hidup. Pada pninsipnya cara ini sama dengan di atas, yaitu sel limpa beium imun ditambah antigen dan 20 ug Nacetylmuramyi- L-alanyi-D-iso- glutamine, diinkubasikan 37°C dengan 5% CO2 95% udara setama 4 hari(16). Berhasilnya imunisasi in vitro ini telah membuka petuang dilakukannya stimulasi in vitro sel B manusia, karena imunisasi in vivo tidak dapat dijaiankan karena dibatasi etika, yang seianjutnya diikuti fusi dengan sel mieloma manusia atau transformasi dengan virus Epstein-Barr sehingga dapat dibuat antibodi monoktonat manusia(16).
2) Pilihan sel myeloma
Yang rnenjadi pertimbangan dalam memilih sel mieloma, adalah:
a) Spesies
Sd mieloma yang berasal dari spesies yang sama dengan binatang yang diimunisasi akan mengurangi segregasi kromosom pasca fusi. Contoh yang ekstrim ialah hibridoma sel myeloma mencit dengan sel limpa manusia,kromosom sel manusia dengan cepat mengalami segregasi sehingga hasil hibrid menjadi tidak stabi1(11,17). Dalam perkembangannya, pemilihan sel myeloma yang berbeda spesies dapat dilakukan terutama untuk tujuan tertentu. Hibrid sel mencit dengan tikus telah dibuat dan berhasil baik, tetapi perbedaan spesies yang terlalu jauh dikatakan tidak produktif(18).
Walaupun pembuatan antibodi monokional mencitdan tikus sudah berhasil baik, gunanya secara klinis sangat terbatas karena tetap merupakan protein asing untuk manusia. Karena itu dikembangkan hibrid manusia dengan mengembangkan sel myeloma manusia yang sensitif terhadap hypoxanthinc-aminopterinthymidine. Tim dari Stanford University telah berhasil membuat galur sel mieloma tersebut yaitu U-266 AR1 dengan nomor registrasi SKO-007. Sayangnya galur ini masih membuat sendiri IgE(19).
b) Sintesis imunoglobulin
Sel hibridoma mengekspresikan rantai imunoglobulin secara codominant, sehingga imunoglobulin dan sel mieloma akan diekspresikan bersama imunoglobulin dan sel limpa dengan kombinasi secara acak(19). Sebagai contoh, bila sel myeloma membentuk rantai berat dan rantai ringan imunoglobulin, seperti
juga halnya dengan sel limpa, maka imunoglobulin dan sel hybrid merupakan kombinasi acak dari ke-4 rantai dan antibodi spesifik hanya terdapat 1/16 dari seluruh imunoglobutin yang terbentuk(20). Karena itu pengembangan diarahkan untuk membuat sel mieloma yang tidak membuat rantai imunoglobulin tetapi tetap dapat fusi dengan baik. Gatur sel mieloma mencit SP2/O-Ag14 yang merupakan hasil reclone SP2/HI-Ag adalah sel myeloma pertama yang tidak membentuk rantai imunogtobutin(20).
3) Medium biakan
Medium biakan umumnya DMEM atau RPMI 1640 dengan tambahan fetal calfserum (FCS) dan aditif lainnya. Yang menjadi masalah adalah FCS harganya mahal, sutit didapat dan kualitasnya sangat bervariasi tergantung sumbernya bahkan juga bervariasi untuk tiap batch. Penambahan FCS sangat penting, bahkan pada waktu fusi, seleksi dan cloning kadar FCS dalam medium sering dinaikkan. Dipilih FCS karena kandungan imunogtobulinnya rendah sehingga tidak mempengaruhi assay serta sangat mendukung tumbuh dan kembang biak sel(11). Usaha pengembangan dilakukan untuk mendapatkan medium tanpa serum karena memberi keuntungan:
• memungkinkan penetitian yang tak memperbotehkan adanya protein serum atau bahan-bahan dan serum misatnya hormon, antibodi.
• ekonomis, terutama untuk menumbuhkan sel dalam skala besar.
• mempermudah pemurnian antibodi monokional, bahkan pada beberapa keadaan, antibodi monokional dapat langsung digunakan tanpa pemurnian(21).
Salah satu dari medium tanpa serum adalah Serum-free KSLM medium yang menggunakan medium dasar RPMI 1640 + DMEM + Hams F-12 medium dengan perbandingan 2: 1: 1, ditambah insulin, 2-amino etanol, 2-merkaptoetanot, natrium selenit, LDL manusia, asam oleat dalam kompleks dengan albumin serum sapi (BSA)(22). Serumfree KSLM medium terbukti sama baiknya untuk menumbuhkan sel mieloma NS- 1 dan sel hibridoma, dibandingkan medium dengan 10% FCS. Harus menjadi perhatian bahwa tidak semuajenis sel mieloma atau hibridoma cocok dengan medium tanpa serum(21).
4) Fusi sel
Fusi sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga menghasitkan sel besar dengan dua atau lebih inti yang berasal dari kedua induk sel yang berbedajenis, disebut heterokaryon, pada waktu tumbuh dan membelah diri terbentuk 1 inti yang mengandung kromosom kedua induk disebut sebagai sel hybrid(17). Frekuensi fusi dipengaruhi bermacam–macam faktor:
– jenis medium.
– perbandingan jumtah sel timpa dengan sel mieloma.
– jenis sel mieloma yang digunakan.
– bahan yang mendorong timbulnya fusi (fusogen), misainya polyethylene glycol(23). Secara garis besar fusogen dibagi menjadi 2 kategori:
– Virus berselubung. Yang sering digunakan adalah virus Sendai(17,24).
– Reagensia tipofitik atau tipolitik, misal lysole cithin dan polyethylene g1ycol(17).
Pada awal penelitiannya Kohier dan Milstein menggunakan virus Sendai yang inaktif sebagai fusogen(3), tetapi karena sulit menyiapkannya, efisiensinya sangat bervariasi dan hanya mendorong fusi pada beberapa jenis sel saja, maka fusogen diganti dengan polyethylene glycol yang lebih mudah didapat dan dapat
mendorong fusi pada sel dengan jenis yang lebih luas(17). Pengembangan fusi sel banyak diarahkan untuk menaikkan efisiensi fusi yang dianggap masih rendah, antara lain dengan cara:
• mengembangkan fusogen
Polyethyleneglycol (PEG) secara luas sudah digunakan sebagai fusogen, biasanya dengan berat molekul 1000–6000, konsentrasi 50%. Penambahan PEG dengan DMSO (dimethylsulphoxide) ternyata dapat menaikkan efisiensi fusi(17).
• mengembangkan teknik fusi lain,yaitu menggunakan medan listrik pada limfoblas(25).

5) Penumbuhan hibndoma
Berdasarkan pengamatan Fazekas de St Groth dan Scheidegger, penumbuhan hibrid pasca fusi yang dilakukan dengan feeder cell (sel limpa tidak imun) memberi hasil yang lebih konstan dibanding tanpa feeder cell(18). Sebagai feeder system dapat digunakan sel limpa tidak imun, thymocyte, makrofag peritoneum, fibroblas manusia yang telah diradiasi(18), lipopolisakarida (LPS), supernatan makrofag, supernatan biakan endotel manusia dan serum darah tali pusat manusia(13). Dalam feeder system terdapat faktor pendorong penumbuhan sel, sebagai contoh:
• mitogen lipopolisakarida (LPS), efeknya diperkuat dengan penambahan dextran sufat.
• supernatan makrofag mengandung monokin (interleukin-1) menimbulkan aktivasi limfosit.
• supernatan biakan endotel pembuluh darah manusia dapat mendorong proliferasi dan diferensiasi hibridoma sel B, faktor mitogennya sampai sekarang betum diketahui. Demikian juga dengan serum tali pusat manusia yang sampai saat ini belum diketahui faktor yang mendorong tumbuhnya hibridoma(13).
Penambahan feeder system terbukti menaikkan frekuensi sel limpa pembentuk klon dan frekuensi terbentuknya klon yang membuat antibodi setelah fusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar