A.
PERKEMBANGAN TEKNIK HIBRIDOMA
Sejak diperkenalkan, teknik hibridoma telah banyak
mengalami perkembangan untuk mendapatkan klon secara efisien dan hibridoma yang
hidup secara maksima. Sejalan dengan tujuan maka pengembangan timbul pada cara-cara:
1)
Imunisasi
Hibridoma merupakan hasil fusi 2 sel yaitu sel
mieioma dan sel B penghasil antibodi. Karena itu supaya memperbanyak sel B
spesifik terhadap antigen yang diinginkan penting supaya populasi sel B pesifik
jumlahnya lebih banyak sehingga hasil fusi mencapai maksimal. Banyaknya sel B
spesifik dipengaruhi antigen baik caranya stimuiasi maupun sifat dan antigen
sendiri, Sehingga untuk memperbanyak sel B spesifik, dilakukan berbagai cara
imunisasi, yaitu:
a.
Konvensional
Cara ini sebenarnya sama dengan cara imunisasi untuk
membuat antibodi poiikional. Antigen berupa protein atau polisakanida dalam
volume yang sama diemulsikan dengan complete Freuncfs adjuvant,
bila antigen seluier dibuat tanpa ajuvan. Antigen disuntikkan subkutan pada
beberapa tempat atau intraperitoneai,
setelah
2–3 minggu disusul suntikan antigen tanpa ajuvan secara intravena sekali atau
beberapa kaii. Mencit dengan tanggap kebal terbaik dipilih, 1–2 hari setelah
suntikan terakhir mencit dibunuh dan diambil sel limpanya(11,12). Cara ini
dianggap cukup baik dan secara umum banyak dipakai, walaupun dipengaruhi sifat
antigen berupa imunogen kuat atau lemah serta tanggap kebal binatang yang
berbeda-beda. Bila informasi antigen yang iengkap tidak bisa didapatkan cara
imunisasi ini terbukti memberi hasil cukup baik.
b. Imunisasi
sekali suntik intralimpa (Single-shot intrasplenic immunization)
Pada imunisasi konvensional, antigen dipengaruhi
bermacam-macam faktor. Bila disuntikkan ke dalam darah sebagian besar akan
dibuang secara aiami, sedangkan melalui kulit akan tersaring kelenjar limfe
regional, makrofag dan sel retikuler. Hanya sebagian kecii antigen yang
terlibat daiam proses tanggap kebal. Pada hibridoma yang diperlukan adalah sel
limpa, karena itu untuk mencegah eiimin antigen oleh bagian lain dari tubuh dilakukan
suntikan imunisasi langsung pada limpa dan ternyata hasilnya lebih baik dan
cara konvensional(14). Selain memberikan hasil klon spesifik yang lebih banyak,
imunisasi intraiimpa ini memberi keuntungan yang lain : (1) Pemakaian antigen
yang sangat hemat, misalnya untuk imunisasi dengan 1gM manusia hanya diperiukan
20 ug, sedangkan untuk antigen berupa sel hanya diperlukan 200.000 sel,
sehingga dapat dibuat hibridoma dan antigen yang terbatas jumiahnya. Karena
hampir semua binatang percobaan membeni tanggap kebal yang baik, tidak
diperiukan binatang dalam jumlah yang besar(14). (2) Fusi dapat dilakukan dalam
waktu 3 hari seteiah imunisasi.
c. Imunisasi
in vitro
Tidak ditemukannya antibodi monokional spesifik
sering karena kegagalan stimulasi limfosit B pada imunisasi in vivo. Ini
mungkin disebabkan toleransi atau adanya antigen hierarchy response (reaksi
tanggap kebai hanya terhadap beberapa komponen antigen). Sering terjadi seteiah
imunisasi dengan antigen yang Iemah, wataupun titer antibodinya tinggi ternyata
gagal mendapatkan hibridoma spesifik karena rendahnya jumtah sel B spesifik
dalam limpa, maka untuk mengatasinya dilakukan imunisasi in vitro(15).
Pada prinsipnya sel timpa belum imun ditambah antigen dan TCM (thymocyte
culture-conditioned medium) yaitu medium biakan sel thymus setelah
inkubasi 48 jam. Antigen dapat benupa antigen tertarut sebanyak 30–1000 ug atau
sel yang difiksasi aikohol atau yang diradiasi 4500 rad dengan Cesium
radioaktif. Setelah diinkubasikan 37°C selama 5 hari akan banyak dijumpai sel blast
yang besar dan pada keadaan ini sel siap untuk dilakukan fusi(15).
Sebagai contoh kebenhasiian imunisasi in vitro :
melalui imunisasi in vitro dengan 107 sel acute myeloid leukemia (AML)
yang difiksasi alkohol, 31 dan 96 sumur biakan menghasilkan hibridoma spesifik
dan antibodi dan 6 dari klon ternyata sangat spesifik karena tidak beneaksi
dengan sel darah penifer maupun sel sumsum tuiang. Hasil ini berbeda bila
dibandingkan melalui imunisasi in vivo, antibodi yang dihasiikan
sebagian besar bereaksi dengan major histocompatibility antigen atau major
rnyeloid differentiation antigen yang merupakan bagian terbanyak
dari permukaan sel(15).
Perkembangan
selanjutnya merupakan penyederhanaan kondisi imunisasi in vitro yaitu menggunakan
medium yang biasa untuk biakan jaringan yaltu RPMI (Roswell Park Memorial
Institute) atau DMEM (Dulbeco ‘s Mod Eagle’s Medium) dan ajuvan
peptida yang mudah didapat, N-acetytmuramyl-L-alanyi-D-isoglutamine. Cara ini
terbukti telah meningkatkan jumlah hibridoma pembuat antibodi sertajumlah
hibridoma yang dapat bertahan hidup. Pada pninsipnya cara ini sama dengan di
atas, yaitu sel limpa beium imun ditambah antigen dan 20 ug Nacetylmuramyi- L-alanyi-D-iso-
glutamine, diinkubasikan 37°C dengan 5% CO2 95% udara setama 4 hari(16).
Berhasilnya imunisasi in vitro ini telah membuka petuang dilakukannya
stimulasi in vitro sel B manusia, karena imunisasi in vivo tidak
dapat dijaiankan karena dibatasi etika, yang seianjutnya diikuti fusi dengan
sel mieloma manusia atau transformasi dengan virus Epstein-Barr sehingga dapat
dibuat antibodi monoktonat manusia(16).
2) Pilihan sel myeloma
Yang
rnenjadi pertimbangan dalam memilih sel mieloma, adalah:
a)
Spesies
Sd mieloma yang berasal dari spesies yang sama
dengan binatang yang diimunisasi akan mengurangi segregasi kromosom pasca fusi.
Contoh yang ekstrim ialah hibridoma sel myeloma mencit dengan sel limpa
manusia,kromosom sel manusia dengan cepat mengalami segregasi sehingga hasil
hibrid menjadi tidak stabi1(11,17). Dalam perkembangannya, pemilihan sel myeloma
yang berbeda spesies dapat dilakukan terutama untuk tujuan tertentu. Hibrid sel
mencit dengan tikus telah dibuat dan berhasil baik, tetapi perbedaan spesies
yang terlalu jauh dikatakan tidak produktif(18).
Walaupun pembuatan antibodi monokional mencitdan
tikus sudah berhasil baik, gunanya secara klinis sangat terbatas karena tetap
merupakan protein asing untuk manusia. Karena itu dikembangkan hibrid manusia
dengan mengembangkan sel myeloma manusia yang sensitif terhadap
hypoxanthinc-aminopterinthymidine. Tim dari Stanford University telah berhasil
membuat galur sel mieloma tersebut yaitu U-266 AR1 dengan nomor registrasi
SKO-007. Sayangnya galur ini masih membuat sendiri IgE(19).
b)
Sintesis imunoglobulin
Sel hibridoma mengekspresikan rantai imunoglobulin
secara codominant, sehingga imunoglobulin dan sel mieloma akan diekspresikan
bersama imunoglobulin dan sel limpa dengan kombinasi secara acak(19). Sebagai
contoh, bila sel myeloma membentuk rantai berat dan rantai ringan
imunoglobulin, seperti
juga
halnya dengan sel limpa, maka imunoglobulin dan sel hybrid merupakan kombinasi
acak dari ke-4 rantai dan antibodi spesifik hanya terdapat 1/16 dari seluruh
imunoglobutin yang terbentuk(20). Karena itu pengembangan diarahkan untuk
membuat sel mieloma yang tidak membuat rantai imunoglobulin tetapi tetap dapat
fusi dengan baik. Gatur sel mieloma mencit SP2/O-Ag14 yang merupakan hasil reclone
SP2/HI-Ag adalah sel myeloma pertama yang tidak membentuk rantai
imunogtobutin(20).
3)
Medium biakan
Medium biakan umumnya DMEM atau RPMI 1640 dengan tambahan
fetal calfserum (FCS) dan aditif lainnya. Yang menjadi masalah adalah
FCS harganya mahal, sutit didapat dan kualitasnya sangat bervariasi tergantung
sumbernya bahkan juga bervariasi untuk tiap batch. Penambahan FCS sangat
penting, bahkan pada waktu fusi, seleksi dan cloning kadar FCS dalam
medium sering dinaikkan. Dipilih FCS karena kandungan imunogtobulinnya rendah
sehingga tidak mempengaruhi assay serta sangat mendukung tumbuh dan kembang
biak sel(11). Usaha pengembangan dilakukan untuk mendapatkan medium tanpa serum
karena memberi keuntungan:
• memungkinkan
penetitian yang tak memperbotehkan adanya protein serum atau bahan-bahan dan
serum misatnya hormon, antibodi.
• ekonomis, terutama untuk menumbuhkan sel dalam
skala besar.
• mempermudah pemurnian
antibodi monokional, bahkan pada beberapa keadaan, antibodi monokional dapat
langsung digunakan tanpa pemurnian(21).
Salah satu dari medium tanpa serum adalah Serum-free
KSLM medium yang menggunakan medium dasar RPMI 1640 + DMEM + Hams F-12
medium dengan perbandingan 2: 1: 1, ditambah insulin, 2-amino etanol, 2-merkaptoetanot,
natrium selenit, LDL manusia, asam oleat dalam kompleks dengan albumin serum
sapi (BSA)(22). Serumfree KSLM medium terbukti sama baiknya untuk
menumbuhkan sel mieloma NS- 1 dan sel hibridoma, dibandingkan medium dengan 10%
FCS. Harus menjadi perhatian bahwa tidak semuajenis sel mieloma atau hibridoma
cocok dengan medium tanpa serum(21).
4)
Fusi sel
Fusi sel diawali dengan fusi membran plasma sehingga
menghasitkan sel besar dengan dua atau lebih inti yang berasal dari kedua induk
sel yang berbedajenis, disebut heterokaryon, pada waktu tumbuh dan membelah
diri terbentuk 1 inti yang mengandung kromosom kedua induk disebut sebagai sel
hybrid(17). Frekuensi fusi dipengaruhi bermacam–macam faktor:
– jenis medium.
– perbandingan jumtah sel timpa dengan sel mieloma.
– jenis sel mieloma yang digunakan.
– bahan yang mendorong
timbulnya fusi (fusogen), misainya polyethylene glycol(23). Secara garis besar
fusogen dibagi menjadi 2 kategori:
– Virus berselubung. Yang sering digunakan adalah
virus Sendai(17,24).
– Reagensia tipofitik
atau tipolitik, misal lysole cithin dan polyethylene g1ycol(17).
Pada awal penelitiannya Kohier dan Milstein
menggunakan virus Sendai yang inaktif sebagai fusogen(3), tetapi karena sulit menyiapkannya,
efisiensinya sangat bervariasi dan hanya mendorong fusi pada beberapa jenis sel
saja, maka fusogen diganti dengan polyethylene glycol yang lebih mudah didapat
dan dapat
mendorong
fusi pada sel dengan jenis yang lebih luas(17). Pengembangan fusi sel banyak
diarahkan untuk menaikkan efisiensi fusi yang dianggap masih rendah, antara
lain dengan cara:
• mengembangkan fusogen
Polyethyleneglycol (PEG) secara luas sudah digunakan
sebagai fusogen, biasanya dengan berat molekul 1000–6000, konsentrasi 50%.
Penambahan PEG dengan DMSO (dimethylsulphoxide) ternyata dapat menaikkan
efisiensi fusi(17).
• mengembangkan teknik fusi lain,yaitu menggunakan
medan listrik pada limfoblas(25).
5)
Penumbuhan hibndoma
Berdasarkan pengamatan Fazekas de St Groth dan
Scheidegger, penumbuhan hibrid pasca fusi yang dilakukan dengan feeder cell (sel
limpa tidak imun) memberi hasil yang lebih konstan dibanding tanpa feeder
cell(18). Sebagai feeder system dapat digunakan sel limpa tidak
imun, thymocyte, makrofag peritoneum, fibroblas manusia yang telah
diradiasi(18), lipopolisakarida (LPS), supernatan makrofag, supernatan biakan
endotel manusia dan serum darah tali pusat manusia(13). Dalam feeder system
terdapat faktor pendorong penumbuhan sel, sebagai contoh:
• mitogen
lipopolisakarida (LPS), efeknya diperkuat dengan penambahan dextran sufat.
• supernatan makrofag
mengandung monokin (interleukin-1) menimbulkan aktivasi limfosit.
• supernatan biakan
endotel pembuluh darah manusia dapat mendorong proliferasi dan diferensiasi
hibridoma sel B, faktor mitogennya sampai sekarang betum diketahui. Demikian
juga dengan serum tali pusat manusia yang sampai saat ini belum diketahui
faktor yang mendorong tumbuhnya hibridoma(13).
Penambahan feeder system terbukti menaikkan
frekuensi sel limpa pembentuk klon dan frekuensi terbentuknya klon yang membuat
antibodi setelah fusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar